portalberita.live update berita harian kriminal,artis,gosip,olahraga,politik

Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

Pada bagian ini saya ingin berbagi cerita tentang kedua paman saya, sebelum saya bercerita tentang teman seperjuangannya. Jadi saat saya kecil, kakek saya, Margono Djojohadikusumo sering bercerita tentang kedua putranya, kedua paman saya Subianto dan Sujono.

Setelah kemerdekaan, Subianto dan Sujono bergabung dengan tentara. Salah satunya, Subianto langsung menjadi perwira. Dia lulus dari Fakultas Kedokteran dan mungkin karena lulus dari fakultas tersebut, dia langsung menjadi perwira. Yang satunya lagi masuk Akademi Militer Tangerang.

Di rumah kakek saya di Jalan Taman Matraman No. 10, sekarang bernama Jalan Taman Amir Hamzah, di Jakarta, ada ruangan Subianto dan Sujono. Kamar kedua paman saya itu, di Taman Matraman saat itu, dipertahankan. Perlengkapan mereka, helm mereka, sepatu mereka masih disimpan dengan baik. Setiap kali saya datang hari Minggu ke sana, kakek saya selalu menyiapkan tenda Subianto untuk dipasang kembali. Saya pun diajak untuk bermain di tenda-tendaan. Saya dibawa ke kamarnya, dan ditunjukkan perlengkapan dan tempat tidur mereka.

Kedua paman saya gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang Selatan pada tahun 1946. Mereka gugur bersama rekannya, Daan Mogot, seorang Mayor yang pada usia 17 tahun mendirikan Akademi Militer Tangerang.

Elias Daniel Mogot, yang dikenal dengan nama Daan Mogot, adalah seorang perwira Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sangat cemerlang kariernya. Ia menjadi Mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) pada usia 14 tahun.

Daan Mogot lahir di Manado pada tahun 1928. Ia bergabung dengan pasukan PETA saat pendudukan Jepang pada tahun 1942, saat itu usianya masih di bawah syarat pemerintah militer Jepang yang mengharuskan usia minimum 18 tahun. Namun, berkat kepandaiannya dan prestasinya selama pendidikan militer, ia dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA di Bali pada tahun 1943. Setelah menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, Kemal Idris, dan beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih calon anggota PETA di Bali.

Pada tahun 1944, Daan Mogot ditempatkan sebagai staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor pada usia 16 tahun.

Dengan pengalamannya sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekannya menggagas pendirian akademi militer. Gagasan tersebut ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta dan pada November 1945, didirilah Militaire Academie Tangerang (MAT).

Karena kegigihan dan keberhasilannya memimpin pasukan, ia menjadi direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Ia ditugaskan untuk mendidik para calon perwira Indonesia untuk ikut serta dalam perang merebut kemerdekaan.

Pada akhir Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dengan tujuan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Tanggal 25 Januari 1946, pasukan di bawah pimpinan Daan Mogot berangkat dengan kekuatan 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara gurkha untuk misi ini, guna mencegah senjata tentara Jepang yang sudah menyerah untuk tidak jatuh ke tangan tentara Belanda.

Sekitar pukul 16.00 WIB, pasukan tiba di markas Jepang. Keempat serdadu gurkha berhasil meyakinkan pihak Jepang bahwa rombongan tersebut adalah gabungan TKR dan Sekutu. Mayor Daan Mogot bersama beberapa tentara memasuki kantor Kapten Abe guna menjelaskan maksud kedatangannya.

Namun di luar, para taruna di bawah pimpinan Lettu Subianto dan Lettu Soetopo tanpa menunggu hasil perundingan langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Jepang berhasil dikumpulkan. Tetapi tiba-tiba terdengar letusan senjata yang memicu kepanikan tentara Jepang, yang kemudian menembaki para taruna MAT.

Para taruna MAT mencoba melawan dengan melepaskan tembakan, namun pertempuran dianggap tidak seimbang. Pertempuran berakhir ketika hari mulai gelap. Prajurit yang masih hidup ditawan oleh pasukan tentara Jepang, sementara beberapa di antaranya berhasil melarikan diri. Mayor Daan Mogot, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono Djojohadikusumo, dan dua perwira dari Polisi Tentara serta 33 prajurit tewas dalam pertempuran. Dua paman saya Subianto berusia 21 tahun, sedangkan Sujono berusia 16 tahun. Peristiwa ini sekarang terkenal dengan sebutan Pertempuran Lengkong.

Source link