Presiden Prabowo Subianto mengkritik dampak negatif dari kapitalisme murni dalam peradaban saat berbicara di acara St. Peterburg International Economic Forum (SPIEF) ’25 di Rusia. Ia menyoroti bagaimana domonasi filosofi pasar klasik, yaitu kapitalisme neoliberal, selama 35 tahun terakhir di ASEAN telah membawa negara-negara tersebut untuk mengikuti kekuatan besar di dunia. Prabowo menekankan pentingnya setiap negara memiliki filosofi ekonomi yang sesuai dengan budayanya sendiri. Menurutnya, mengikuti kekuatan terbesar dalam hal ekonomi hanya akan membawa negara pada ketidakseimbangan.
Dalam pandangannya, kapitalisme murni dan sosialisme murni tidak lagi cocok untuk era kekinian karena menghasilkan ketimpangan yang signifikan. Sebagai solusinya, Prabowo menyatakan bahwa pemerintahannya memiliki pendekatan tengah dengan tujuan merangsang kreativitas, inovasi, dan inisiatif masyarakat guna memajukan ekonomi bangsa. Namun, intervensi pemerintah juga diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kelaparan serta melindungi kelompok masyarakat yang lemah.
Prabowo juga menyebut bahaya state capture di negara berkembang, di mana pihak swasta atau pengusaha bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Ia menekankan perlunya waspada terhadap kolusi antara pemodal besar, pemerintah, dan elit politik di Indonesia. Menyadari kompleksitas situasi, Prabowo berpendapat bahwa negara-negara harus mampu mengembangkan filosofi ekonomi yang sesuai dengan latar belakang budaya dan kebutuhan masyarakatnya.