Jumat, 3 November 2023 – 14:50 WIB
Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, angkat suara soal fenomena penurunan cadangan devisa Indonesia, yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan data BI, cadangan devisa per akhir September 2023 tercatat mencapai US$134,9 miliar, atau turun dari bulan sebelumnya yang sebesar US$137,1 miliar.
Baca Juga :
Harga Emas Hari Ini 3 November 2023: Global Mendatar, Produk Antam Naik
Perry menjelaskan, penurunan cadangan devisa itu terjadi karena adanya kebutuhan untuk menahan tekanan global. Terlebih, saat ekspor dan capital inflow masuk ke Tanah Air dalam jumlah besar beberapa waktu sebelumnya, maka penurunan cadev saat ini memang akan terasa akibat adanya upaya pemenuhan kebutuhan tersebut.
“Saat dulu (cadev) naik sampai US$139 miliar, itu kan saat inflow dan ekspor kita besar. Nah, ketika ada tekanan-tekanan global seperti saat ini, ya wajar itu kalau ada penurunan,” kata Perry dalam konferensi pers KSSK di Gedung BI, Jakarta, Jumat, 3 November 2023.
Baca Juga :
Jawaban Kamala Harris Saat Ditanya Bantuan Militer AS ke Tel Aviv: Kami Dukung Hak Israel
Dia pun menjelaskan sejumlah tekanan global tersebut. Antara lain yakni meliputi pertumbuhan ekonomi pada 2023, yang diprakirakan sebesar 2,9 persen. Kemudian diprakirakan juga akan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024, dengan kecenderungan risiko yang lebih rendah.
Baca Juga :
Rupiah Menguat Pagi Ini Dipicu Positifnya Aset Berisiko
Selain itu, ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2023 juga diperkirakan masih akan tumbuh kuat, terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik. Sementara di sisi lain ekonomi China justru tengah melambat, akibat pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti.
Kemudian, ketegangan geopolitik yang meningkat telah mendorong harga energi dan pangan juga ikut meningkat. Hal itu menyebabkan tetap tingginya inflasi global, sehingga suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR), diprakirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama (higher for longer).
Kenaikan suku bunga global diperkirakan akan diikuti pada tenor jangka panjang, dengan kenaikan yield obligasi Pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury). Hal itu akibat adanya peningkatan kebutuhan pembiayaan utang Pemerintah, dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term-premia).
Perry mengatakan, berbagai perkembangan tersebut telah mendorong keluarnya modal (capital outflow) dari negara-negara emerging market, ke negara maju dan ke aset yang lebih likuid, yang mengakibatkan dolar AS menguat secara tajam terhadap berbagai mata uang dunia. Bahkan, rupiah pun sempat melemah tajam, di mana kurs dolar AS bahkan nyaris menembus level Rp 16.000.
Karenanya, Perry menegaskan bahwa BI dan KSSK akan terus berupaya untuk mendorong peningkatan cadangan devisa, dengan implementasi kebijakan devisa hasil ekspor (DHE).
“DHE SDA juga sudah membantu peningkatan cadangan devisa, karena term deposit valas yang di-passed on dari ekspor ke BI US$1,9 miliar memang belum semua. Karena memang PP No.36/2023 itu kemarin kan efektifnya adalah November, dan untuk melihat itu perlu jangka waktu 3 bulan, nanti mari kita lihat kembali,” kata Perry.
Dia menambahkan, posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor, pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
“Ketahanan kita akan kuat, termasuk juga cadev kita lebih dari cukup,” ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Kenaikan suku bunga global diperkirakan akan diikuti pada tenor jangka panjang, dengan kenaikan yield obligasi Pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury). Hal itu akibat adanya peningkatan kebutuhan pembiayaan utang Pemerintah, dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term-premia).